Ide-ide cemerlang untuk kebaikkan manusia, dan makhluk Alloh SWT lainnya .... Think before you click ... Fikirkan sebelum meng-klik ...

Selamat Datang

Terima Kasih anda telah mengujungi blog saya , blog ini ditujukan untuk berbagi ilmu, pengalaman dan apa saja yang bermanfaat untuk kita semua, terutama ilmu yang dapat mengantarkan kita kepada kebahagiaan abadi, semoga blog ini informatif dan dapat memberi nilai tambah bagi anda .






Rabu, 08 Desember 2010

Al Ijaarah / Al Iijar

Ijaarah atau Iijar berasal dari kata Ujrah yang beratri upah, pahala atau balasan. Dalam bahasa Indonesia Ijarah atau Iijar sering diterjemahkan dengan istilah sewa menyewa, tetapi sebenarnya pengertiannya lebih luas dari sekedar sewa. Sebagian ulama mengklasifkasikan ijarah sebagai salah satu jenis akad bai’ (jual beli), mereka memberikan istilah ijarah sebagai Bai’ul Manfaat atau jual beli jasa. Ijarah juga disebut Tamliikul Manaafi (memberikal hak pemanfaatan sesuatu kepada orang lain). Contoh ijarah adalah jasa pemanfaatan rumah (kontrak rumah), pemanfaatan kendaraan (sewa, jasa angkut), pemanfaatan alat-alat pesta dan juga pemanfaatan tenaga seseorang (kerja).

Beberapa definisi ijarah yang disampaikan para ulama antara lain:
1. Ijarah adalah akad atas suatu manfaat dengan kompensasi
2. Ijarah adalah memberikan hak (kepada seseorang) untuk memanfaatkan sesuatu dengan kompensasi
3. Ijarah adalah Jual bel atas sesuatu manfaat yang jelas dengan upah yang jelas

Dari tiga definisi ini yang paling baik adalah definisi yang ketiga.
Dari ulama Syafiiyah mendefinsikan Iajarah adalah nama untuk upah, kemudian pengertian ini berkembang bahwa ijarah digunakan untuk nama akad bukan upahnya. Daalam bahasa Arab hal in merupakan kiasan / majaz. Adapun pengertian jarah secara syar’i adalah memberikan kepemilikan (kepada seseorang) untuk memanfaatkan sesuatu.
Sebagaimana definis ijarah secara umum adalah jual beli manfaat atau jasa,oleh karena itulah maka para ulam mengatakan tidak sah ijarah atas suatu benda (bukan manfaatnya, tetapi bendanya) seperti ijarah suatu pohon untuk dambl buahnya, ijarah kambing untuk diperah susunya atau diambil anaknya, ijarah kolam atau sejenisnya untuk diambil ikannya seperti pemnacingan dan lain-lain.
Jadi tempat-tempat pemancingan yang menggunakan akad/praktek ijarah dimana seseorang membayar sejumlah uang, misalnya setiap pengunjung membayar Rp. 20.000,- kemudian dia berhak memancing sepuasnya, apakah mendapat ikan atau tidak , mendapatkan sedikit atau banyak, tarifnya adalah sama Rp. 20.000,-. Praktek yang demikian akadnya tidak sah. Seharusnya yang sesuai dengan syar’i adalah menggunakan akad jual beli atau menggabungkan antara sewa tempat dan jual beli ikan. Misalnya setiap pengunjung dikenakan sewa kolam sebesar Rp. !0.000,- / kunjungan. Untuk ikan yang didapat dikenakan biaya sebesar harga jual ikan misalnya Rp. 40.000,- / kg.

2. Hukum dan Dalil
a. Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa jarah adalah mubah, dalil-dalilnya ;
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu , maka berikanlah kepada mereka upahnya dan musyawarahkanlah dianatar kamu (segala sesuatu) dengan baik. Dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. ( Alquran Surat / QS Ath Thalaq ayat 6 )
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata; ”Ya bapakku ambilah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita) karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambiluntuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya”. (QS. Al Qashshash : 26).

Maha benar Tuhan ALLOH SWT dengan segala firmannya (perkataan-perkataannya)
Hadits Riwayat Ibnu Majah
Dari Abdullah bin Umar ra berkata, Rasulullah saw bersabda; ”Berikanlah upah kepada Ajir (orang yang kamu sewa, buruh/karyawan)sebelum kering keringatnya”.
Imam Asy Syairazi dan Al Jashshas juga menyebutkan adanya hadits rasululloh saw yang menyatakan bahwa kalau seseorang hendak melakukan akad ijarah maka hendaklah dia membertahukan kepada ajir mengenai besaran upah yang akan diberikan.Perlu adanya kejelasan upah sebelum atau saat akad sehingga tdak muncul perselisihan setelah akad. Haditsnya adalah, ”Barangsiapa yang hendak menyewa/memperkerjakan seorang ajir, hendaklah ia memberitahukan upahnya”. (HR. Asy Syairazi)

3.Rukun dan Syarat Ijarah
a. Al Aqidaan; Dua pihak yang berakad, terdiri dari Al Musta’jir dan Al Ajiir
b. Al Musta’jir adalah orang yang memerlukan jasa misalnya orang yang menyewa rumah atau orang yang memancing dikolam pemancngan atau orang yang mempekerjakan karyawan. Sedangkan Al Ajiir adalah penyedia jasa misalnya pemilik rumah, pemilik kolam tempat pemancingan dan karyawan/buruh. Dua phak yang berakad harus memilik kecakapan dan otoritas ( Al Ahliyah dan Al wilayah) seperti dalam bab tentang ketentuan akad. Kedua pihaj juga harus melakukan transaksi atas dasar duka sama suka, tidak boleh ada paksaan pada satu pihak.
c. Sighat akad yang terdiri dari ijab dan kabul.
Pada dasarnya akad dilaksanakan secara lisan, namun bisa digantikan dengan tulisan.Adapun jika dilaksanakan secara lisan dan juga tulisan maka itu lebih baik.
d. Al Ma’qud ’Alaih atau objek akad, terdri dari manfaat sesuatu yang disewakan dan upah itu sendiri. Untuk hal ini ada beberapa syarat dan ketentuan;
• Yang diijarahkan/yang disewakan haruslah berupa manfaat atau jasa, bukan bendanya. Tidak sah menyewakan pohon untuk mengambil buahnya.
Dalam hal ini kami nukilkan pernyataan Imam Mawardi;
Setiap sesuatu yang dapat dimanfaatkan dan bendanya tetap, maka sah dilakukan akad ijarah seperti binatang dan lainnya apabila manfaat/jasa dan waktunya jelas dan dapat direalisasikan. Dan tidak sah ijarah atas sesuatu dimana manfaat yang didapatkan darinya adalah suatu benda seperti buah-buahan, kecuali dalam masalah menyusui dan sumur. Upah adalah merupakan sesuatu yang diberikan belakangan (setelah pekerjaan selesai) dan sah didahulukan atau dibayar dimuka dengan syarat.
• Manfaat yang menjadi obyek ijarah harus merupakan manfaat yang dihalalkan secara syar’i. Tidak sah ijarah atas sesuatu yang diharamkan, misalnya ijarah seorang wanita untuk melakukan pijat kepada lelaki yang bukan mahramnya, ijarah rumah untuk digunakan sebagai tempat maksiat sepert diskotik atau tempat penjualan khamar (minuman beralkohol), membayar tukang sihir untuk mengajarkan ilmu sihir, menyewakan mobil yang akan digunakan untuk pacaran dan juga menyewakan pakaian pengantin yang mepertontonkan aurat.
• Disyaratkan pula manfaat yang disewakan harus merupakan sesuatu yang jelas sehingga menghindari akan adanya sengketa, msalnya menyewa/menyuruh seseorang untuk mengecat rumah dari bagian mana sampai mana dengan cara yang bagaimana.
• Disyaratkan pula manfaat yang disewakan harus merupakan sesuatu yang mungkin dan dapat dilaksanakan secara riil. (dalam buku fiqh sunnah karya Sayyid Sabiq). Contoh manfaat yang tidak mungkin dilaksanakan adalah menyewa orang yang bisu untuk berbicara dihadapan publik.
• Upah yang akan dberkan harus jelas, tidak boleh ada gharar (ketidakjelasan) agar tidak ada sengketa setelah akad. Sebagaimana dalam akad jual beli secara umumnya setiap akad itu memang harus jelas dan tidak boleh ada unsur gharar. Mengenai keharusan adanya kejelasan upah, yang menjadi landasan para fuqaha dalam hal in adalah sabda rasulullah saw yang diriwayatkan Asy Syairazi : ”Barangsiapa yang hendak menyewa/mempekerjakan seorang ajir, hendaklah ia memberitahukan besar upah yang dibayarkan”.
• Upah tidak harus berupa uang, upah dapat diberikan dalam bentuk manfaat/jasa yang lain. Misalnya seseorang mempekerjakan seorang ajir untuk mengecat rumah dan upahnya adalah dia akan mengajarkan padanya membaca dan menulis.
4.Ijarah atas suatu Ibadah dan Kebajikan.
Apabila yang menjadi obyek akad dalam ijarah adalah suatu kewajiban atau suatu ibadah lain, maka ada perbedaan pendapat (khilafiyah) dikalangan para ulama. Sayyid Sabiq menyebutkan khilafiyah tersebut ke dalam tiga pendapat yaitu;
a. Madzhab Hanafi mengatakan ijarah untuk ibadah seperti sholat, puasa, haji, membaca Alquran, adzan, menjadi imam sholat dan sejenisnya adalah haram karena adanya larangan meminta upah atas adzan yang dilakukan seseorang.
b. Madzhab Hambali mengatakan tidak sah ijarah atas suatu ibadah seperti adzan, iqamat, haji (badal haji), mengajarkan Alquran, mengajarkan ilmu-ilmu agama seperti fiqh dan hadits. Bag yang menerima upah maka haram menerimanya, akan tetapi kalau pekerjaan tersebut tergolong pekerjaan yang multiplier effect yakni manfaatnya meluas untuk orang lain (kemaslahatan publik) seseorang boleh diberikan rizki oleh baitul maal (negara yang mewakilinya) karena hal n termasuk bantuan atas suatu kebaikan demi kemaslahatan umum dan tidak termasuk wadl/kompensasi murni atas pekerjaan yang dilakukan orang tersebut. Misalnya seorang dosen mengajarkan ilmu agama di suatu lembaga dan lembaga itu memberikan sejumlah uang/barang, maka hal ini sah dan halal.
c. Madzhab Syafii dan Maliki mengatakan sah dan halal seseorang melakukan ijarah untuk mengajarkan ilmu agama maupun Alquran. Dalam kitab Al Umm, Imam Syafii berkata : Seorang boleh menisti’jarkan (mempekerjakan) orang lain untuk menjalankan ibadah haji bagi dirinya, apabila dia tidak mampu mengendarai kendaraan dalam menjalankan ibadah haji karena fisiknya yang lemah sedangkan dia memiliki harta untuk itu begitu pula bagi ahli warisnya setelah itu. Ijarah untuk menjalankan ibadah haji boleh (jaiz/mubah) seperti bolehnya ijarah pada pekerjaan-pekerjaan yang lain, bahkan insya ALLOH ijarah dalam suatu kebaikan lebih baik daripada ijarah yang tidak ada unsur kebaikan di dalamnya. Dia berhak menerima upah yang dberkan berapapun walaupun banyak, seperti halnya ia menerima upah atas pekerjaan yang lain, tidak ada perbedaan antara keduanya.
Dalil yang memperkuat pendapat yang ketiga adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahkan Imam Bukhari memberikan satu bab/pasal khusus yaitu; Dari Ibnu Abbas ra berkata, dari Rasulullah saw bahwasanya, ”Yang palin berhak kalian mengambl upah darinya adalah kitabullah”. Imam Sya’bi berkata : Seorang guru tidak boleh mensyaratkan hal tersebut, tetapi kalau dia diberi maka hendaklah ia menerimanya. Imam Al Hakam mengatakan : Saya tidak seseorang yang membenci upah untuk seorang guru.
Dalam Shahih Bukhari, shahih Ibnu Hibban, As Sunanul Qubra Imam Baihaqi dan Sunan Ad Daruqquthni dicerikan sababul wurud atas cerita lengkap tentang hadits tersebut Dalam Shahin Ibnu Hibban disebutkan;
Dari Ibnu Anas, bahwasanya sejumlah orang dari sahabat nabi melewati suatu perkampungan bangsa Arab, di kampung itu ada seseorang yang tersengat. Mereka bertanya adakah salah seorang diantara kalian yang dapat meruqyah (mengobati). Kemudian salah seorang itu mengobati dengan upah seekor kambing dan ternyata orang yang diobati itu sembuh. Ketika teman-temannya datang maka mereka tidak menyukai hal itu dan mereka berkata; ”Apakah engkau mengambil upah atas kitabullah?” Kemudian setelah mereka sampai kepada rasulullah saw mereka menceritakan kejadian itu. Rasulullah saw kemudian memanggil sahabat yang meruqyah dan bertanya kepadanya, kemudian sahabat itu menjawab; ”Sesungguhnya kami melewati suatu perkampungan yang di dalamnya ada seseorang yang tersengat mereka berkata adakah diantara kalian yang dapat meruqyah? Maka aku meruqyahnya dengan surat Al Fatihah ( surat pembuka dalam kitab suci Alquran) dan orang itu sembuh. Maka Rasulullah saw bersabda ; ”Sesungguhnya yang paling berhak kalian mengambil upah darinya adalah kitabullah.” ( Shahih Ibnu Hibban)

5. Jenis Ijarah
Sayyid Sabiq dalam fiqhus sunnah membagi ijarah ke dalam dua kelompok, yaitu;
a. Ijarah atas manfaat suatu benda, misalnya; sewa rumah, sewa mobil, sewa pakaian, sewa pesawat dan lain sebagainya.
b. Ijarah atas pekerjaan seperti ijarah untuk membuat pakaian (menerima upah jahit saja), membuat rumah, mengangkut suatu benda dan lain sebagainya.

Orang yang membuat ijarah atas pekerjaan (buruh) dikelompokan menjad 2 jenis :
• Ajir Khos yaitu orang yang menyerahkan dirinya kepada satu orang tertentu seperti pegawai perusahaan, karyawan tetap. Dia mendapatkan upah dengan menyerahkan dirinya. Orang yang demikian tidak boleh bekerja rangkap pada jam kerja yang telah disepakati dalam akad
• Ajir Musytarak yaitu orang yang bekerja untuk siapa saja yang membutuhkan seperti tukang sol sepatu, ankuntan lepas, dokter praktek pribadi. Dia mendapatkan upah atas pekerjaannya bukan karena telah menyerahkan dirinya. Orang yang demikian boleh bekerja kepada siapa saja pada saat yang sama setiap pekerjaan diselesaikan seperti yang tercantum dalam akad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar