Ide-ide cemerlang untuk kebaikkan manusia, dan makhluk Alloh SWT lainnya .... Think before you click ... Fikirkan sebelum meng-klik ...

Selamat Datang

Terima Kasih anda telah mengujungi blog saya , blog ini ditujukan untuk berbagi ilmu, pengalaman dan apa saja yang bermanfaat untuk kita semua, terutama ilmu yang dapat mengantarkan kita kepada kebahagiaan abadi, semoga blog ini informatif dan dapat memberi nilai tambah bagi anda .






Senin, 11 Juni 2012

Manajemen Perubahan


Memutuskan jadi pendidik/pengajar awalnya tidak mudah, dari kaiki yang meng-meng rasanya ... dikejar2 soal nilai dst ... butuh banyak beradaptasi ... namun demikian dari rasa hatiku ada kenyamanan dan kebahagian yang lain yang selama ini belum pernah kurasakan, ... semoga aku dapat menyelami rasa sabar dan rasa ikhlas lebih dalam lagi ... karena tidak mulia seseorang sebelum meraskan pahitnya kesabaran ...

Sabtu, 05 Februari 2011

Tahun kelinci


Shio ku katanya shio anjing (he3 ... padahal aku manusia loh), tapi aku iseng-iseng baca-baca shio anjing di tahun kelinci , nggak serius sech ... khawatir 40 hari sholatku nggak diterima (seperti yang ada di dalam hadits jika seorang muslim/ah ke peramal kan sholatnya 40 hari nggak diterima) ... Tapi masalahnya kan bukan ada di tahun apa kita , tapi ada di motivasi apa di tahun ini ... untuk mendorong aktifitas yang optimal ...

Senin, 03 Januari 2011

Al Hawwalah / Hiwalah

1. Pengertian

Berasal dari kata haala – yahuulu lalu menjadi hawwala – yahawwilu – tahwiilan. Hawwala – yuhawwili – tahwiilan berarti tahawwul dan intiqaal yakni perpindahan. Yaitu perpindahan tanggung jawab (qardl) hutang dari orang yang berhutang (Al Muhiil) kepada orang lain ( Al Muhaal ‘alaih). Dalam hal ini pihak yang berakad akan melibatkan pihak ke tiga. Jadi akad Hawwalah ini pada dasarnya merupakan akad yang berhbngan dengan akad qardl.
Dalam madzhab Syafii, kita dapatkan definisi Hawwalah sebagai berikut :Akad yang menimbulkan konsekwensi perpindahan hutang dari suatu dzimmah (hak-hak yang terlindungi/tagihan) kepada dzimmah yang lain.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab Qardl, bahwa Qardl merupakan akad Tabarru dengan demikian semua akad yang berhubungan dengan akad Qardl pada dasarnya merupakan akad tabarr juga, begitu juga dengan Hawwalah. Apakah akad Tabarru bisa dikembangkan menjadi akad Mu’awadlah / pertkaran ataupun komersial? Hal ini perlu dikaji lebih dalam. Meskipun demikian, ada sebagian kecil ulama yang mengelompokkan Hawalah ke dalam bab jual beli karena adanya unsur pertukaran tetapi pendapat ini lemah

Contoh akad Hawalah;
Ahmad telah memberikan piutang kepada Syakir, tetapi Syakir juga memberikan piutang kepada Mahmud. Perincian kasusnya adalah;
Ahmad merupakan pihak yang surplus (memberikan piutang) : Al Muhaal
Syakir merupakan pihak yang balance (punya piutang dan berhutang) : Al Muhiil
Mahmud adalah pihak yang minus, dia berhtang saja : Al Muhaal ’alaih
Untuk menyederhanakan jalr htang pitang serta pembayaran, maka Mahmud diminta membayar langsung ke Ahmad sehingga Syakir bebas dari rusan hutang dan piutang. Inilah contoh kasus Hawalah.

2. Hukum dan Dalil
Para Fuqaha telah sepakat (Ijma’) bahwa Hawalah diperbolehkan dalam Islam bahkan menurut sebagian ulama madzhab Hambali Ibnu Jarir dan madzhab Dzahiriyah hukumnya adalah wajib ( Fiqhussunah : Sayyid Sabiq ), karena adanya hadits shahih dari Abu Hurairah berkata ; Rasulullah saw bersabda : ” Menunda tanpa udzur bagi orang yang kaya (mampu) adalah dzalim, dan jika salah seorang diantara kamu dipindahkan (tagihannya) kepada orang yang mampu hendaklah ia menerimanya.” ( HR. Bukhori ) Akan tetapi sebagian besar ulama mengomentari bahwa perintah yang ada dalam hadits ini adalah menunjukkan sunnah, seperti halnya perintah mencatat transaksi hutang piutang yang tersebut dalam surat Albaqarah : 282

3. Hukum Hawalah dan peristilahannya :
a. Pihak yang berakad dalam hal ini melibatkan 3 orang yaitu;
• Al Muhiil : orang yang berhutang dan juga berpiutang (balance, pelaku utama)
• Al Muhaal atau Muhtaal, orang yang berpiutang (surplus)
• Al Muhaal ’Alaih (kreditor) orang ini akan dipindahkan dalam membayar hutang
b. Sighat : terdiai dari Ijab dan Qabul
c. Obyek akad terdiri dari dua hal :
• Al Muhaal bih : Hutang Al Muhiil kepada AlMuhaal
• Hutang Al Muhaal ’alaih kepada Al Muhiil.

4. Syarat sah Hawalah

1. Ridla antara Al Muhiil dan Al Muhaal, adapun keridlaan Al Muhaal ‘alaih maka hal ini tidak disyaratkan menurut sebagian ulama karena adanya hadits di atas
2. Dua hak / hutang itu harus sama nilainya
3. Kejelasan atau kestabilan hutang, artinya hutang yang menjadi objek akad dalam Hawalah tidak merupakan yang masih dipeselisihkan/sengketa. Jika hutangnya mash sengketa dan belum jelas kedudukannya makaHAwalah tdak sah
4. Hak yang di Hawalah kan (hak dbayar/putang) juga merupakan sesuatu yang jelas
5. Tanggung Jawab AlMuhiil
Jika akad Hawalah telah dlaksanakan secara sah,maka tanggung jawab Al Muhiil telah bebas dari hutang, sehingga apabila Al Muhaal ’alaih bangkrut misalnya, ia tidak lag berkewajiban membayar hutang (karena sebenarnya a juga punya putang / balance), ini adalah pendapat kebanyakan ulama.
Mengenai hal ini Imam Syafii dalam Al Umm mengatakan :
”Pendapat kami adalah pendapat yang dikatakan oleh Malik bin Anas yang berkata bahwa, ” Apabila seorang (Al Muhil) melakukan Hawalah kepada orang lain tentang suatu hak (tagihan) kemudianAl Muhaal ’alaih bangkrut atau wafat, maka Al Muhal tidak boleh kembali untuk menagih kepadaAl Muhiil selamanya.” Wallahu A’lam.

Rahn (gadai)

Pengertian:
Secara bahasa Rahn berarti : Al-habs, yang berarti menahan/memenjara (tanggung jawab) Ad-dawaam, atau ats-tsubut (tetap).

Dalam konteks ini kita dapati Allah swt berfirman:
Tiap-tiap diri ditahan (bertanggung jawab) atas apa yang diperbuatnya, QS Al-Muddatstsir : 38.

Adapun dalam istilah, Rahn berarti menahan yang mempunya nilai ekonomis sebagai bukti dan atau jaminan atas hutang. Jadi rahn atau gadai adalah akad yang berkaitan dengan akad qadrl. Seperti yang telah kita sampaikan bahwa qadrl adalah akad tabarru’ maka rahn juga merupakan bagian dari tabarru’, karenanya rahn termasuk salah satu akad yang tidak cocok untuk disejajarkan dengan akad jual beli, rahn kurang menguntungkan dari sisi bisnis karena ia merupakan kegiatan sosial.

Hukum dan Dalil:
Para ulama sepakat bahwa Rahn dperbolehkan dalam Islam dengan beberapa dalil a.l:

a. Al-Qur’an surah Al-Baqarah : 283
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada ALLOH SWT Tuhannya, dan jangan kamu (para saksi), menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan ALLOH SWT maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ayat ini menyatakan bahwa orang yang melakukan akad hutang piutang sebaiknya dtulis dan jika tidak ada penulisnya maka bisa diganti dengan cara adanya barang yang dijadkan jaminan / gadai yang diberikan oleh muqtaridl (orang yang berhutang) dan dipegang atau ditahan oleh muqridl (orang yang memberikan hutangan).

b. Hadits
Dari Istri Rasul, Aisyah ra berkata, bahwasanya Rasululloh saw telah membeli makanan dari seoarng yahudi untuk waktu yang akan datang (bai’us salam) dan Beliau menggadakan baju besinya. HR. Bukhori

Hadits ini secara tegas menyatakan bahwa Rasululloh saw pernah menggadaikan baju besinya, karena itulah maka rahn diperbolehkan. Dar sisi lain hadits ini boleh jadi mengisyaratkan kondisi financial Rasululloh saw yang cukup memprihatinkan, beliau tidak bergelimang dengan harta bahkan untuk kebutuhan membeli makanan Beliau harus menggadaikan sesuatu.

Rahn tidak menjadikan pemiliknya tertutup (dar resiko dan manfaatnya), bagi pemiliknya manfaat barang tersebut dan tanggung jawab dia pula bila ada kerugian ( bea / resiko) nya. HR. Daru Quthni

3. Rukun Rahn
a. Aqidaan : Rahin (orang yang menggadaikan barangnya) dan Murtahin ( penerima gadai), keduanya harus memenuhi persyaratan dalam nadzariyatul ’aqd
b. Ma’qud ’alaih atau obyek aqad ; Al Marhuun (barang yang digadaikan), da harus termasuk barang yang boleh dijualbelikan, jelas dan dapat diserahterimakan, dapat dimanfaatkan / memiliki nilai ekonomis dan hak milik Rahin dan Al Marhun bih (hutang), harus merupakan yang benar-benar adanya secara hukum bukan hutang yang masih sengketa keberadaan dan jumlahnya, yakni jelas status dan ukurannya.
c. Sighat atau Ijab dan Qabul

4. Hukum dan Manfaat Barang Gadai
Barang yang digadai (Al Marhun) adalah suatu amanah dari rahin kepada murtahin. Dia merupakan bukti atas adanya hutang piutang, bukan diberikan untuk dimanfaatkan oleh murtahin. Oleh karena itu barang yang digadaikan tidak boleh diambil manfaatnya oleh murtahin, misalnya jika barang yang digadaikan adalah mobil, maka dia tidak boleh dipakai untuk bepergian.Jika barang yang digadaikan adalah emas maks dia tidak boleh dikenakan/dipakai oleh murtahin sehingga tidak terjerumus ke dalam hutang yang jarra manfaatan atau hutang yang mengandung benefit bagi pihak muqridl.
Al Murtahin (pihak yang menerima gadai) boleh saja memanfaatkan barang gadainya apabila dia harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk menjaganya. Sebagai kompensasi biaya yang dikeluarkan karenanya dia perlu diukur sebanding, misalnya jika barang yang digadaikan adalah binatang maka dia berhak memerah susunya untuk diminum atau dijual. Dalam hadits, dari Abu Hurairah ra berkata; Rasululloh saw bersabda, “Punggung (ternak) boleh dinaiki sesuai dengan biaya yang dikeluarkan apabla ia digadaikan. Susu unta boleh diminumnya apabila ia digadaikan. Pihak yang menaiki dan meminumnya wajib mengeluarkan biaya”. ( HR. Imam Baihaqi ) Dan menurut Imam Baihaqi hadits seperti ini juga dirwayatkan oleh Imam Bukhori dalam hadits shohihnya.

5. Penyelsaian / Berakhirnya Gadai
Pada zaman jahiliyah (zaman kebodohan dan kegelapan), apabila rahin tidak mampu membayar hutangnya maka barang yang dgadaikan akan menjadi milik murtahin (pemberi hutang), baik dimilki, dipakai sendiri ataupun dijual. Hal yang demikian tidak diperbolehkan dalam syariat Islam .
Dalam Islam gadai hanya sebagai jaminan atas hutang, karenanya jika hutang telah jatuh tempo dan rahin tdak mampu membayar hutangnya, maka Al Marhun dapat dijual untuk membayar hutang, jika lebih harus dikembalikan kepada pemilik barang dan jika kurang maka orang yang berhutang harus tetap menambah guna melunasi hutangnya, sesuai dengan hadits di atas.
Dalam praktek sekarang ini, khususnya dalam transaksi individual basanya praktek pegadaian masih mengikuti pola pegadaian jahiliyah, dimana ketika seorang yang berhutang dan menggadaikan barangnya tidak mampu membayar hutangnya maka barang itu langsung dijadikan hak milik penerima gadai dan orang yang berhutang dianggap telah melunasi hutangnya. Yang seperti in tidak diperbolehkan dalam syartat Islam.

6. Gadai dalam Lembaga Keuangan Syariah Modern
Pada saat ini, hampir semua bank syariah mengaplikasikan Aqd Rahn, baik sebagai akad tambahan dalam produk murabahah dan sejenisnya, ataupun sebagai produk sendiri. Misalnya ketika seseorang mengajukan pembiayaan/kredit untuk pembelian rumah, maka pihak bank meminta kepada nasabah agar menjadikan sertifikat rumah yang dibiayai itu sebagai collateral atau rahn atas adanya hutang nasabah kepada pihak bank dalam pembelian rumah. Jika nasabah wan prestasi atau tidak mampu melunasi hutang pembelian rumahnya maka rumah akan dijual oleh bank untuk melunasi sisa pembayaran atas pembelian rumahnya, jika ada kelebihan dari penjualan itu maka sisa penjualan harus dikembalikan kepada pihak nasabah.
Adapun dalam lembaga pegadaian syariah, maka aplikasinya adalah; pihak pegadaian memberikan kepada nasabah dan nasabah yang menerima hutang dari pihak pegadaian wajib membayar hutang sejumlah yang ia terima. Untuk menutupi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pihak pegadaian plus margin keuntungan yang ditargetkan oleh pegadaian maka ada akad kedua dan akad ketiga yang terjadi pada transaksi pegadaian syariah ini. Yaitu pihak nasabah wajib menggadaikan (rahn) barang berharga kepada pihak pegadaian dan pihak pegadaian akan menyimpannya disuatu tempat tertentu yang dianggap aman. Untuk penyimpanan dan penjagaan, pihak pegadaian mengenakan bea sewa ( Ijarah ) atas tempat yang digunakan menyimpan barang tersebut.

Rabu, 08 Desember 2010

Qardl ( Hutang )

1. Pendahuluan
Dari satu sisi akad Qardl memiliki kesamaan dengan akad bai’ (jual beli) yaitu dari sisi adanya pertukaran atau perpindahan kepemilikan harta dengan kompensasi (mu’awadloh) Akan tetapi kalau kita logikakan dengan bai’, maka Qardl termasuk bai’ ma laa yamlik (menjual sesuatu yang belum dimiliki) artinya orang yang berhutang “membeli” harta tertentu dan berjanji akan membayarnya dengan “sesuatu” yang dia belum memilikinya saat akad, dan ini termasuk jual beli yang dilarang oleh syariah.

Menurut Ibnu Qudamah, Qardl juga memiliki kemiripan dengan salam yaitu seseorang menyerahkan sejumlah barang atau uang kepada pihak lain, dan pihak lain yang menerima barang atau uang itu harus menyerahkan barang atau uang yang senilai pada waktu yang akan datang.

Dalam lteratur para ulama dengan melihat hadits-hadits tentang Qardl, mereka mengklasifikasikan Qardl ke dalam akad tabarru’ atau akad saling membantu dan tidak termasuk akad mu’awwadhah. Qardl bukan transaksi pertukaran atau komersial, maka Qardl tidak boleh dilakukan kecauali oleh orang yang sah melakukan tabarru’. Oleh sebab itu kurang tepat kalau Qardl dikiaskan dengan jual beli maa laa yamlik yang dilarang oleh syariah, tetapi dia lebih dekat untuk dikatakan sebagai bentuk ta’awwun yang sangat dianjurkan oleh syariah dengan klasifikasi Qardl sebagai akad tabarru’ maka hal ini akan melahirkan beberapa konsekwensi tertentu sebagaimana layaknya kegiatan sosial yang lain, antara lain tidak adanya benefit bagi muqridh (orang yang memberikan piutang/pemilik barang)

2. Pengertian
Secara bahasa Qardl berarti Al Qath’u yang berarti pemotongan. Korelasi maknanya adalah bahwa ketika seseorang memberikan Qardl kepada orang lain, da telah memotong/mengurangi sebagan hartanya untuk diberkan kepada orang lain, dia berharap mudah-mudahan harta itu akan kembali dengan nilai yang sama, tetapi ada kemungkinan loss nya barang yang diberikan jika sang muqtaridl (yang berhutang) tidak mampu membayar, wanprestasi atau karena faktor lain.
Secara syar’i Qardl adalah akad dimana satu pihak bersedia memberikan sebagian hartanya kepada pihak lain, agar orang yang menerimanya itu membayarkan kepada dirinya harta yang sepadan (serupa) di waktu yang akan datang.

3. Hukum dan Dalil Qardl
Transaksi Qardl diperbolehkan oleh para ulama berdasarkan dalil dari Alquran, As Sunnah dan Ijma’ Ulama. Lebih dari itu bagi orang yang memberikan Qardl hukumnya bukan lagi mubah tetapi sunnah yang sangat baik dilakukan. Beberapa dalil yang menganjurkan kita untuk memberikan Qardl kepada proyek-proyek kebaikan dan memberikan Qardl kepada orang lain ;
Alquran surat Albaqarah : 245 yang artinya ; ”Siapakah yang mau memberi Qardl (pinjaman/hutang) dengan Qardlyang baik (menafkahkan hartanya d jalan Tuhan), maka Tuhan akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan berlipat ganda yang banyak. Dan Tuhan menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada Tuhan mulah kamu dikembalkan.”
Dari ayat ini dapat kita fahami beberapa hal tentang Qardl :
• Anjuran memberikan Qardl kepada Tuhan dan Tuhan akan membayarnya di akhirat
• Qardl ada yang baik dan ada yang tdak baik
• Qardl yang baik akan mendapatkan balasan berlipat ganda di sisi Tuhan

2. Hadits
Dari Ibnu Mas’ud ra berkata : Rasululloh saw bersabda, ”Tidak ada seorang Muslim yang memberikan Qardl kepada Muslm yang lain sebanyak dua kali kecuali seperti bersedekah satu kali. HR. Ibnu Majah
Dari Anas ra berkata: Rasululloh saw bersabda, ”Saya melihat pada malam isra’ bahwa tertulis di pintu surga; Sedekah mendapat imbalan 10 kali lipat, sedangkan Qardl 18 kali lipat”. Aku bertanya : Ya Jibril mengapa qardl lebih baik daripada sedekah? Jawab Jibril, ”Karena orang yang meminta (sedekah) itu meminta ketika dia masih memiliki, sedangkan orang yang menginginkan qardl dia tidak akan melakukan qardl kecuali dalam keadaan perlu”. HR. Ibnu Majah
Dua hadits ini memperkuat pernyataan yang menyatakan bahwa qardl adalah akad sosial, dia bukan merupakan akad komersial. Akad qardl lebih dekat kepada sedekah dan tidak cocok untuk disejajarkan dengan akad jual beli dan sejenisnya. Oleh karena itu seseorang yang memberikan qardl harus sadar dan faham betul dengan hadits-hadits semacam ini.

3. Ijma
Imam Ibnu Qudamah menyatakan bahwa ummat Islam telah melakukan ijma atas diperbolehkannya Qardl. Kesepakatan ulama ini selain didasari dalil-dalil naqli juga didasari adanya pemikiran bahwa tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak seorangpun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu qardl akan menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Dan Islam adalah agama yang memperhatikan segenap kebutuhan umatnya

4. Qardl yang Mengandung Benefit
Rasululloh saw menempatkan qardl pada hadits-hadits di atas sebagai bentuk pertolongan seseorang kepada orang lain, sehingga ketika seseorang memberikan qardl dia harus sadar betul bahwa apa yang dia lakukan adalah ibadah sosial untuk mengharapkan balasan dari Tuhan, karena itu rasul pun menjelaskan bahwa qardl yang diberikan oleh seseorang dan orang itu mendapatkan benefit di dunia maka hal itu termasuk qardl yang dilarang.
Diriwayatkan dalam hadits bahwa setiap qardl yang mengandung benefit adalah tergolong riba seperti yang tersebut dalam riwayat dari Abu Bakr, dari Hafs, dari Asy’ats dari Hakam dari Ibrahim : “Setiap qardl yang mengambil manfaat adalah riba. Dalam riwayat senada hadits riwayat Ibnu Majah: dari Yahya bin Abi Ishaq Al Hudzali berkata; “Aku bertanya kepada Anas bin Malik mengenai seorang lelaki diantara kami yang memberikan qardl kepada saudaranya, kemudian orang yang dibarikan qardl (al muqtaridl) memberikan hadiah kepada muqridl maka Anas berkata, Rasululloh saw bersabda, “Apabila seorang diantara kalan memberikan qardl kemudian diberi hadiah atau dibawa dengan kendaraannya (dibonceng, dipersilahkan naik kendaraan muqtaridl) hendaklah ia tidak menaiki kendaraan itu dan jangan menerima tawaran/hadiah itu, kecuali hal itu sudah biasa dilakukan sebelumnya”.

5. Khiyar dalam Qardl
Dalam qardl tidak terdapat khiyar apapun seperti yang ada dalam akad jual beli, dia menyerupai hibah/pemberian. Orang yang berhutang (muqtaridl) boleh mengembalikan atau membayar hutangnya kapan saja. Akad in bersifat lazim atau mengikat dan tidak boleh dibatalkan bagi pihak muqridl (pemilik barang/pemberi piutang) namun bagi muqtaridl dia merupakan akad jaiz, maksudnya jika muqtaridl ingin membatalkan permintaan hutangnya atau melakukan pembayaran lebh cepat dari waktu yang ditentukan maka hal tersebut diperbolehkan.

6. Tempat da Jumlah Pembayaran Qardl
Ulama dari 4 madzhab sepakat bahwa pembayaran qardl harus dilakukan di tempat akad, khususnya apabla barang diqardlkan adalah barang-barang berat yang memerlukan transportasi dalam jumlah besar, sehingga muqridl tidak terbebani untuk memndahkan ke tempat yang seharusnya dan juga untuk menutup kemungkinan adanya benefit jika muqridl sebenarnya hanya ingin mengambil manfaat dar qardlnya
Contohnya : Jika seorang memberikan qardl berupa beras 10 ton di Jakarta, jika pembayaran dilakukan di Bandung maka ada dua kemungkinan ;
• Jika muqridl (pemilik barang/pemberi piutang) membutuhkan barangnya di Jakarta, maka berarti dia telah dirugikan karena harus mengangkutnya dari Bandung ke Jakarta, dia perlu waktu dan biaya
• Jika muqridl memerlukan barang tersebut di Bandung, maka ini akan membuka peluang qardl jarra manfaatan, artinya dia memberikan qardl kepada seseorang dengan syarat muqtaridl harus membayar 10 ton plus bea pengirimannya
Jumlah pembayaran yang dilakukan oleh muqtaridl kepada muqridl harus sama yang diterima saat akad, walaupun sudah terlalu lama. Teori tentang inflasi ataupun penurunan nilai mata uang tidak boleh diterapkan dalam akad qardl, karena qardl sifatnya sosial jadi phak muqridl tidak berhak mendapatkan benefit dari qardl yang dia berikan. Semangat dalam qardl adalah semangat tolong menolong. Seorang muslim yang menolong muslim lainnya akan ditolong tuhan ALLOH SWT.

7. Qardl dalam Perbankkan
Sampai saat ini qardl digunakan oleh perbankkan sebaga salah satu bentuk pelengkapan serta bagan dari CSR (Corporate Social Responsibilty). Misalnya bank memberikan qardl kepada pedagang usaha kecil dan menengah dalam jumlah nominal yang sangat kecil, dan pihak nasabah hanya wajib membayar sejumlah uang yang diterima dari bank tanpa adanya bea tambahan apapun.

Al Ijaarah / Al Iijar

Ijaarah atau Iijar berasal dari kata Ujrah yang beratri upah, pahala atau balasan. Dalam bahasa Indonesia Ijarah atau Iijar sering diterjemahkan dengan istilah sewa menyewa, tetapi sebenarnya pengertiannya lebih luas dari sekedar sewa. Sebagian ulama mengklasifkasikan ijarah sebagai salah satu jenis akad bai’ (jual beli), mereka memberikan istilah ijarah sebagai Bai’ul Manfaat atau jual beli jasa. Ijarah juga disebut Tamliikul Manaafi (memberikal hak pemanfaatan sesuatu kepada orang lain). Contoh ijarah adalah jasa pemanfaatan rumah (kontrak rumah), pemanfaatan kendaraan (sewa, jasa angkut), pemanfaatan alat-alat pesta dan juga pemanfaatan tenaga seseorang (kerja).

Beberapa definisi ijarah yang disampaikan para ulama antara lain:
1. Ijarah adalah akad atas suatu manfaat dengan kompensasi
2. Ijarah adalah memberikan hak (kepada seseorang) untuk memanfaatkan sesuatu dengan kompensasi
3. Ijarah adalah Jual bel atas sesuatu manfaat yang jelas dengan upah yang jelas

Dari tiga definisi ini yang paling baik adalah definisi yang ketiga.
Dari ulama Syafiiyah mendefinsikan Iajarah adalah nama untuk upah, kemudian pengertian ini berkembang bahwa ijarah digunakan untuk nama akad bukan upahnya. Daalam bahasa Arab hal in merupakan kiasan / majaz. Adapun pengertian jarah secara syar’i adalah memberikan kepemilikan (kepada seseorang) untuk memanfaatkan sesuatu.
Sebagaimana definis ijarah secara umum adalah jual beli manfaat atau jasa,oleh karena itulah maka para ulam mengatakan tidak sah ijarah atas suatu benda (bukan manfaatnya, tetapi bendanya) seperti ijarah suatu pohon untuk dambl buahnya, ijarah kambing untuk diperah susunya atau diambil anaknya, ijarah kolam atau sejenisnya untuk diambil ikannya seperti pemnacingan dan lain-lain.
Jadi tempat-tempat pemancingan yang menggunakan akad/praktek ijarah dimana seseorang membayar sejumlah uang, misalnya setiap pengunjung membayar Rp. 20.000,- kemudian dia berhak memancing sepuasnya, apakah mendapat ikan atau tidak , mendapatkan sedikit atau banyak, tarifnya adalah sama Rp. 20.000,-. Praktek yang demikian akadnya tidak sah. Seharusnya yang sesuai dengan syar’i adalah menggunakan akad jual beli atau menggabungkan antara sewa tempat dan jual beli ikan. Misalnya setiap pengunjung dikenakan sewa kolam sebesar Rp. !0.000,- / kunjungan. Untuk ikan yang didapat dikenakan biaya sebesar harga jual ikan misalnya Rp. 40.000,- / kg.

2. Hukum dan Dalil
a. Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa jarah adalah mubah, dalil-dalilnya ;
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu , maka berikanlah kepada mereka upahnya dan musyawarahkanlah dianatar kamu (segala sesuatu) dengan baik. Dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. ( Alquran Surat / QS Ath Thalaq ayat 6 )
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata; ”Ya bapakku ambilah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita) karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambiluntuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya”. (QS. Al Qashshash : 26).

Maha benar Tuhan ALLOH SWT dengan segala firmannya (perkataan-perkataannya)
Hadits Riwayat Ibnu Majah
Dari Abdullah bin Umar ra berkata, Rasulullah saw bersabda; ”Berikanlah upah kepada Ajir (orang yang kamu sewa, buruh/karyawan)sebelum kering keringatnya”.
Imam Asy Syairazi dan Al Jashshas juga menyebutkan adanya hadits rasululloh saw yang menyatakan bahwa kalau seseorang hendak melakukan akad ijarah maka hendaklah dia membertahukan kepada ajir mengenai besaran upah yang akan diberikan.Perlu adanya kejelasan upah sebelum atau saat akad sehingga tdak muncul perselisihan setelah akad. Haditsnya adalah, ”Barangsiapa yang hendak menyewa/memperkerjakan seorang ajir, hendaklah ia memberitahukan upahnya”. (HR. Asy Syairazi)

3.Rukun dan Syarat Ijarah
a. Al Aqidaan; Dua pihak yang berakad, terdiri dari Al Musta’jir dan Al Ajiir
b. Al Musta’jir adalah orang yang memerlukan jasa misalnya orang yang menyewa rumah atau orang yang memancing dikolam pemancngan atau orang yang mempekerjakan karyawan. Sedangkan Al Ajiir adalah penyedia jasa misalnya pemilik rumah, pemilik kolam tempat pemancingan dan karyawan/buruh. Dua phak yang berakad harus memilik kecakapan dan otoritas ( Al Ahliyah dan Al wilayah) seperti dalam bab tentang ketentuan akad. Kedua pihaj juga harus melakukan transaksi atas dasar duka sama suka, tidak boleh ada paksaan pada satu pihak.
c. Sighat akad yang terdiri dari ijab dan kabul.
Pada dasarnya akad dilaksanakan secara lisan, namun bisa digantikan dengan tulisan.Adapun jika dilaksanakan secara lisan dan juga tulisan maka itu lebih baik.
d. Al Ma’qud ’Alaih atau objek akad, terdri dari manfaat sesuatu yang disewakan dan upah itu sendiri. Untuk hal ini ada beberapa syarat dan ketentuan;
• Yang diijarahkan/yang disewakan haruslah berupa manfaat atau jasa, bukan bendanya. Tidak sah menyewakan pohon untuk mengambil buahnya.
Dalam hal ini kami nukilkan pernyataan Imam Mawardi;
Setiap sesuatu yang dapat dimanfaatkan dan bendanya tetap, maka sah dilakukan akad ijarah seperti binatang dan lainnya apabila manfaat/jasa dan waktunya jelas dan dapat direalisasikan. Dan tidak sah ijarah atas sesuatu dimana manfaat yang didapatkan darinya adalah suatu benda seperti buah-buahan, kecuali dalam masalah menyusui dan sumur. Upah adalah merupakan sesuatu yang diberikan belakangan (setelah pekerjaan selesai) dan sah didahulukan atau dibayar dimuka dengan syarat.
• Manfaat yang menjadi obyek ijarah harus merupakan manfaat yang dihalalkan secara syar’i. Tidak sah ijarah atas sesuatu yang diharamkan, misalnya ijarah seorang wanita untuk melakukan pijat kepada lelaki yang bukan mahramnya, ijarah rumah untuk digunakan sebagai tempat maksiat sepert diskotik atau tempat penjualan khamar (minuman beralkohol), membayar tukang sihir untuk mengajarkan ilmu sihir, menyewakan mobil yang akan digunakan untuk pacaran dan juga menyewakan pakaian pengantin yang mepertontonkan aurat.
• Disyaratkan pula manfaat yang disewakan harus merupakan sesuatu yang jelas sehingga menghindari akan adanya sengketa, msalnya menyewa/menyuruh seseorang untuk mengecat rumah dari bagian mana sampai mana dengan cara yang bagaimana.
• Disyaratkan pula manfaat yang disewakan harus merupakan sesuatu yang mungkin dan dapat dilaksanakan secara riil. (dalam buku fiqh sunnah karya Sayyid Sabiq). Contoh manfaat yang tidak mungkin dilaksanakan adalah menyewa orang yang bisu untuk berbicara dihadapan publik.
• Upah yang akan dberkan harus jelas, tidak boleh ada gharar (ketidakjelasan) agar tidak ada sengketa setelah akad. Sebagaimana dalam akad jual beli secara umumnya setiap akad itu memang harus jelas dan tidak boleh ada unsur gharar. Mengenai keharusan adanya kejelasan upah, yang menjadi landasan para fuqaha dalam hal in adalah sabda rasulullah saw yang diriwayatkan Asy Syairazi : ”Barangsiapa yang hendak menyewa/mempekerjakan seorang ajir, hendaklah ia memberitahukan besar upah yang dibayarkan”.
• Upah tidak harus berupa uang, upah dapat diberikan dalam bentuk manfaat/jasa yang lain. Misalnya seseorang mempekerjakan seorang ajir untuk mengecat rumah dan upahnya adalah dia akan mengajarkan padanya membaca dan menulis.
4.Ijarah atas suatu Ibadah dan Kebajikan.
Apabila yang menjadi obyek akad dalam ijarah adalah suatu kewajiban atau suatu ibadah lain, maka ada perbedaan pendapat (khilafiyah) dikalangan para ulama. Sayyid Sabiq menyebutkan khilafiyah tersebut ke dalam tiga pendapat yaitu;
a. Madzhab Hanafi mengatakan ijarah untuk ibadah seperti sholat, puasa, haji, membaca Alquran, adzan, menjadi imam sholat dan sejenisnya adalah haram karena adanya larangan meminta upah atas adzan yang dilakukan seseorang.
b. Madzhab Hambali mengatakan tidak sah ijarah atas suatu ibadah seperti adzan, iqamat, haji (badal haji), mengajarkan Alquran, mengajarkan ilmu-ilmu agama seperti fiqh dan hadits. Bag yang menerima upah maka haram menerimanya, akan tetapi kalau pekerjaan tersebut tergolong pekerjaan yang multiplier effect yakni manfaatnya meluas untuk orang lain (kemaslahatan publik) seseorang boleh diberikan rizki oleh baitul maal (negara yang mewakilinya) karena hal n termasuk bantuan atas suatu kebaikan demi kemaslahatan umum dan tidak termasuk wadl/kompensasi murni atas pekerjaan yang dilakukan orang tersebut. Misalnya seorang dosen mengajarkan ilmu agama di suatu lembaga dan lembaga itu memberikan sejumlah uang/barang, maka hal ini sah dan halal.
c. Madzhab Syafii dan Maliki mengatakan sah dan halal seseorang melakukan ijarah untuk mengajarkan ilmu agama maupun Alquran. Dalam kitab Al Umm, Imam Syafii berkata : Seorang boleh menisti’jarkan (mempekerjakan) orang lain untuk menjalankan ibadah haji bagi dirinya, apabila dia tidak mampu mengendarai kendaraan dalam menjalankan ibadah haji karena fisiknya yang lemah sedangkan dia memiliki harta untuk itu begitu pula bagi ahli warisnya setelah itu. Ijarah untuk menjalankan ibadah haji boleh (jaiz/mubah) seperti bolehnya ijarah pada pekerjaan-pekerjaan yang lain, bahkan insya ALLOH ijarah dalam suatu kebaikan lebih baik daripada ijarah yang tidak ada unsur kebaikan di dalamnya. Dia berhak menerima upah yang dberkan berapapun walaupun banyak, seperti halnya ia menerima upah atas pekerjaan yang lain, tidak ada perbedaan antara keduanya.
Dalil yang memperkuat pendapat yang ketiga adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahkan Imam Bukhari memberikan satu bab/pasal khusus yaitu; Dari Ibnu Abbas ra berkata, dari Rasulullah saw bahwasanya, ”Yang palin berhak kalian mengambl upah darinya adalah kitabullah”. Imam Sya’bi berkata : Seorang guru tidak boleh mensyaratkan hal tersebut, tetapi kalau dia diberi maka hendaklah ia menerimanya. Imam Al Hakam mengatakan : Saya tidak seseorang yang membenci upah untuk seorang guru.
Dalam Shahih Bukhari, shahih Ibnu Hibban, As Sunanul Qubra Imam Baihaqi dan Sunan Ad Daruqquthni dicerikan sababul wurud atas cerita lengkap tentang hadits tersebut Dalam Shahin Ibnu Hibban disebutkan;
Dari Ibnu Anas, bahwasanya sejumlah orang dari sahabat nabi melewati suatu perkampungan bangsa Arab, di kampung itu ada seseorang yang tersengat. Mereka bertanya adakah salah seorang diantara kalian yang dapat meruqyah (mengobati). Kemudian salah seorang itu mengobati dengan upah seekor kambing dan ternyata orang yang diobati itu sembuh. Ketika teman-temannya datang maka mereka tidak menyukai hal itu dan mereka berkata; ”Apakah engkau mengambil upah atas kitabullah?” Kemudian setelah mereka sampai kepada rasulullah saw mereka menceritakan kejadian itu. Rasulullah saw kemudian memanggil sahabat yang meruqyah dan bertanya kepadanya, kemudian sahabat itu menjawab; ”Sesungguhnya kami melewati suatu perkampungan yang di dalamnya ada seseorang yang tersengat mereka berkata adakah diantara kalian yang dapat meruqyah? Maka aku meruqyahnya dengan surat Al Fatihah ( surat pembuka dalam kitab suci Alquran) dan orang itu sembuh. Maka Rasulullah saw bersabda ; ”Sesungguhnya yang paling berhak kalian mengambil upah darinya adalah kitabullah.” ( Shahih Ibnu Hibban)

5. Jenis Ijarah
Sayyid Sabiq dalam fiqhus sunnah membagi ijarah ke dalam dua kelompok, yaitu;
a. Ijarah atas manfaat suatu benda, misalnya; sewa rumah, sewa mobil, sewa pakaian, sewa pesawat dan lain sebagainya.
b. Ijarah atas pekerjaan seperti ijarah untuk membuat pakaian (menerima upah jahit saja), membuat rumah, mengangkut suatu benda dan lain sebagainya.

Orang yang membuat ijarah atas pekerjaan (buruh) dikelompokan menjad 2 jenis :
• Ajir Khos yaitu orang yang menyerahkan dirinya kepada satu orang tertentu seperti pegawai perusahaan, karyawan tetap. Dia mendapatkan upah dengan menyerahkan dirinya. Orang yang demikian tidak boleh bekerja rangkap pada jam kerja yang telah disepakati dalam akad
• Ajir Musytarak yaitu orang yang bekerja untuk siapa saja yang membutuhkan seperti tukang sol sepatu, ankuntan lepas, dokter praktek pribadi. Dia mendapatkan upah atas pekerjaannya bukan karena telah menyerahkan dirinya. Orang yang demikian boleh bekerja kepada siapa saja pada saat yang sama setiap pekerjaan diselesaikan seperti yang tercantum dalam akad

Minggu, 05 Desember 2010

Rukun dan Syarat Salam(Jual beli dengan Pesanan)


Rukun Salam ada 3 macam; secara umum setiap rukun harus memenuhi semua persyaratan umum yang kami sampaikan dalam bab nadzriyatul aqd/ketentuan - ketentuan tentang akad. Adapun syarat khusus yang berkaitan dengan akad antara lain;
1. Al Aqiidani (dua pihak yang berakad) terdiri dari : Muslam (pembeli) dan Muslam ilaih (penjual). Kedua pihak yang berakad harus memenuhi syarat-syarat seperti yang dijelaskan pada bab ketentuan tentang akad, yakni memiliki al ahliyah dan al wilayah. Para ulama berbeda pendapat tentang orang buta karena tidak dapat melihat
sifat-sifat barang yang di salamkan, akan tetapi Asy Syairozi memilih pendapat yang memperbolehkan karena dia dapat mengetahui sifat-sifat benda yang di salam kan melaui pendengarannya.
2. Sighat akad salam; sighat terdiri dari ijab dan qabul.
3. Ma'qud alaih meliputi dua hal yaitu; modal/harga dan muslam fiih atau barang yang dipesan.
Persyaaratan khusus bagi modal/harga adalah:
a. Modal/harga yang digunakan harus diketahui dengan jelas mengenai jenis, ukuran, kualitas dansebagainya yang membuatnya spesifik hingga tidak terjadi perselisihan pendapat. Dalam hal ini modal bisa berupa uang dan boleh juga berupa benda lain sebagaimana jual beli. Bisa jadi orang membutuhkan buah-buahan disaat yang akan datang dan saat ini dia memiliki pakaian, kemudian ia gunakan pakaian sebagai modal meskipun dalam perdagangan moden, barter memang agak jarang terjadi. Jika modal menggunakan uang, maka bisa menggunakan mata uang rupiah atau mata uang asing yang lain, yang penting ada kejelasan.
b. Modal/harga yang harys diserahterimakan tunai pada waktu akad salam, jika modal tidak dibayarkan saat akad maka salam tidak sah. Ibnu Qudamah menjelaskan bahea apabila pembayaran baru dilakukan sebahagian saja maka salam tidak sah dan akadnya batal.Pendapat ini adalah pendapat kebanyakan ulama sedangkan Imam Malik mengatakan boleh diserahkan maksimal 3 hari setelah akad salam terjad.

Adapun muslam fiih (barang yang dipesan) maka harus memenuhi syarat sebagai berikut;
1. Diketahui jenisnya, sifatnya, juga ukurannya (spesifik). Misalnya adalah salam/memesan baju dengan bahan katun ukuran L dengan bentukdemikianmenggunakan kantong /saku di bagian mana dan seterusnya dibayar tunai saat akad.
2. Ditentukan waktu serah terimanya, misalnya barang yang dipesan akan diserahkan kepada pemesan hari senin tanggal 25 Januari 2020 dan harus dilakukan di kemudian hari tidak boleh diserahterimakan saat akad sebab kalau diserahterimakan saat akad namanya bai'(jual beli) biasa
3 Tidak mengandung unsur ribawi, baik riba fadl maupun riba nasi'ah.Misalnya memesan uang riyal pecahan 100 sebanyak 1000 lembar yang akan diserahkan tanggal 25/1/2025 dibayar dengan uang saudi pecahan 10 real sebanyak 15.000 lembar yang dibayarkan saat akad, atau memesan uang dinar kuwait sebanyak 10.000 dinar yang akan diserahkan tanggal 18/10/ 2019 dan dibayar dengan rupiah saat akad tunai