Ide-ide cemerlang untuk kebaikkan manusia, dan makhluk Alloh SWT lainnya .... Think before you click ... Fikirkan sebelum meng-klik ...

Selamat Datang

Terima Kasih anda telah mengujungi blog saya , blog ini ditujukan untuk berbagi ilmu, pengalaman dan apa saja yang bermanfaat untuk kita semua, terutama ilmu yang dapat mengantarkan kita kepada kebahagiaan abadi, semoga blog ini informatif dan dapat memberi nilai tambah bagi anda .






Senin, 03 Januari 2011

Rahn (gadai)

Pengertian:
Secara bahasa Rahn berarti : Al-habs, yang berarti menahan/memenjara (tanggung jawab) Ad-dawaam, atau ats-tsubut (tetap).

Dalam konteks ini kita dapati Allah swt berfirman:
Tiap-tiap diri ditahan (bertanggung jawab) atas apa yang diperbuatnya, QS Al-Muddatstsir : 38.

Adapun dalam istilah, Rahn berarti menahan yang mempunya nilai ekonomis sebagai bukti dan atau jaminan atas hutang. Jadi rahn atau gadai adalah akad yang berkaitan dengan akad qadrl. Seperti yang telah kita sampaikan bahwa qadrl adalah akad tabarru’ maka rahn juga merupakan bagian dari tabarru’, karenanya rahn termasuk salah satu akad yang tidak cocok untuk disejajarkan dengan akad jual beli, rahn kurang menguntungkan dari sisi bisnis karena ia merupakan kegiatan sosial.

Hukum dan Dalil:
Para ulama sepakat bahwa Rahn dperbolehkan dalam Islam dengan beberapa dalil a.l:

a. Al-Qur’an surah Al-Baqarah : 283
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada ALLOH SWT Tuhannya, dan jangan kamu (para saksi), menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan ALLOH SWT maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ayat ini menyatakan bahwa orang yang melakukan akad hutang piutang sebaiknya dtulis dan jika tidak ada penulisnya maka bisa diganti dengan cara adanya barang yang dijadkan jaminan / gadai yang diberikan oleh muqtaridl (orang yang berhutang) dan dipegang atau ditahan oleh muqridl (orang yang memberikan hutangan).

b. Hadits
Dari Istri Rasul, Aisyah ra berkata, bahwasanya Rasululloh saw telah membeli makanan dari seoarng yahudi untuk waktu yang akan datang (bai’us salam) dan Beliau menggadakan baju besinya. HR. Bukhori

Hadits ini secara tegas menyatakan bahwa Rasululloh saw pernah menggadaikan baju besinya, karena itulah maka rahn diperbolehkan. Dar sisi lain hadits ini boleh jadi mengisyaratkan kondisi financial Rasululloh saw yang cukup memprihatinkan, beliau tidak bergelimang dengan harta bahkan untuk kebutuhan membeli makanan Beliau harus menggadaikan sesuatu.

Rahn tidak menjadikan pemiliknya tertutup (dar resiko dan manfaatnya), bagi pemiliknya manfaat barang tersebut dan tanggung jawab dia pula bila ada kerugian ( bea / resiko) nya. HR. Daru Quthni

3. Rukun Rahn
a. Aqidaan : Rahin (orang yang menggadaikan barangnya) dan Murtahin ( penerima gadai), keduanya harus memenuhi persyaratan dalam nadzariyatul ’aqd
b. Ma’qud ’alaih atau obyek aqad ; Al Marhuun (barang yang digadaikan), da harus termasuk barang yang boleh dijualbelikan, jelas dan dapat diserahterimakan, dapat dimanfaatkan / memiliki nilai ekonomis dan hak milik Rahin dan Al Marhun bih (hutang), harus merupakan yang benar-benar adanya secara hukum bukan hutang yang masih sengketa keberadaan dan jumlahnya, yakni jelas status dan ukurannya.
c. Sighat atau Ijab dan Qabul

4. Hukum dan Manfaat Barang Gadai
Barang yang digadai (Al Marhun) adalah suatu amanah dari rahin kepada murtahin. Dia merupakan bukti atas adanya hutang piutang, bukan diberikan untuk dimanfaatkan oleh murtahin. Oleh karena itu barang yang digadaikan tidak boleh diambil manfaatnya oleh murtahin, misalnya jika barang yang digadaikan adalah mobil, maka dia tidak boleh dipakai untuk bepergian.Jika barang yang digadaikan adalah emas maks dia tidak boleh dikenakan/dipakai oleh murtahin sehingga tidak terjerumus ke dalam hutang yang jarra manfaatan atau hutang yang mengandung benefit bagi pihak muqridl.
Al Murtahin (pihak yang menerima gadai) boleh saja memanfaatkan barang gadainya apabila dia harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk menjaganya. Sebagai kompensasi biaya yang dikeluarkan karenanya dia perlu diukur sebanding, misalnya jika barang yang digadaikan adalah binatang maka dia berhak memerah susunya untuk diminum atau dijual. Dalam hadits, dari Abu Hurairah ra berkata; Rasululloh saw bersabda, “Punggung (ternak) boleh dinaiki sesuai dengan biaya yang dikeluarkan apabla ia digadaikan. Susu unta boleh diminumnya apabila ia digadaikan. Pihak yang menaiki dan meminumnya wajib mengeluarkan biaya”. ( HR. Imam Baihaqi ) Dan menurut Imam Baihaqi hadits seperti ini juga dirwayatkan oleh Imam Bukhori dalam hadits shohihnya.

5. Penyelsaian / Berakhirnya Gadai
Pada zaman jahiliyah (zaman kebodohan dan kegelapan), apabila rahin tidak mampu membayar hutangnya maka barang yang dgadaikan akan menjadi milik murtahin (pemberi hutang), baik dimilki, dipakai sendiri ataupun dijual. Hal yang demikian tidak diperbolehkan dalam syariat Islam .
Dalam Islam gadai hanya sebagai jaminan atas hutang, karenanya jika hutang telah jatuh tempo dan rahin tdak mampu membayar hutangnya, maka Al Marhun dapat dijual untuk membayar hutang, jika lebih harus dikembalikan kepada pemilik barang dan jika kurang maka orang yang berhutang harus tetap menambah guna melunasi hutangnya, sesuai dengan hadits di atas.
Dalam praktek sekarang ini, khususnya dalam transaksi individual basanya praktek pegadaian masih mengikuti pola pegadaian jahiliyah, dimana ketika seorang yang berhutang dan menggadaikan barangnya tidak mampu membayar hutangnya maka barang itu langsung dijadikan hak milik penerima gadai dan orang yang berhutang dianggap telah melunasi hutangnya. Yang seperti in tidak diperbolehkan dalam syartat Islam.

6. Gadai dalam Lembaga Keuangan Syariah Modern
Pada saat ini, hampir semua bank syariah mengaplikasikan Aqd Rahn, baik sebagai akad tambahan dalam produk murabahah dan sejenisnya, ataupun sebagai produk sendiri. Misalnya ketika seseorang mengajukan pembiayaan/kredit untuk pembelian rumah, maka pihak bank meminta kepada nasabah agar menjadikan sertifikat rumah yang dibiayai itu sebagai collateral atau rahn atas adanya hutang nasabah kepada pihak bank dalam pembelian rumah. Jika nasabah wan prestasi atau tidak mampu melunasi hutang pembelian rumahnya maka rumah akan dijual oleh bank untuk melunasi sisa pembayaran atas pembelian rumahnya, jika ada kelebihan dari penjualan itu maka sisa penjualan harus dikembalikan kepada pihak nasabah.
Adapun dalam lembaga pegadaian syariah, maka aplikasinya adalah; pihak pegadaian memberikan kepada nasabah dan nasabah yang menerima hutang dari pihak pegadaian wajib membayar hutang sejumlah yang ia terima. Untuk menutupi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pihak pegadaian plus margin keuntungan yang ditargetkan oleh pegadaian maka ada akad kedua dan akad ketiga yang terjadi pada transaksi pegadaian syariah ini. Yaitu pihak nasabah wajib menggadaikan (rahn) barang berharga kepada pihak pegadaian dan pihak pegadaian akan menyimpannya disuatu tempat tertentu yang dianggap aman. Untuk penyimpanan dan penjagaan, pihak pegadaian mengenakan bea sewa ( Ijarah ) atas tempat yang digunakan menyimpan barang tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar