Ide-ide cemerlang untuk kebaikkan manusia, dan makhluk Alloh SWT lainnya .... Think before you click ... Fikirkan sebelum meng-klik ...

Selamat Datang

Terima Kasih anda telah mengujungi blog saya , blog ini ditujukan untuk berbagi ilmu, pengalaman dan apa saja yang bermanfaat untuk kita semua, terutama ilmu yang dapat mengantarkan kita kepada kebahagiaan abadi, semoga blog ini informatif dan dapat memberi nilai tambah bagi anda .






Senin, 03 Januari 2011

Al Hawwalah / Hiwalah

1. Pengertian

Berasal dari kata haala – yahuulu lalu menjadi hawwala – yahawwilu – tahwiilan. Hawwala – yuhawwili – tahwiilan berarti tahawwul dan intiqaal yakni perpindahan. Yaitu perpindahan tanggung jawab (qardl) hutang dari orang yang berhutang (Al Muhiil) kepada orang lain ( Al Muhaal ‘alaih). Dalam hal ini pihak yang berakad akan melibatkan pihak ke tiga. Jadi akad Hawwalah ini pada dasarnya merupakan akad yang berhbngan dengan akad qardl.
Dalam madzhab Syafii, kita dapatkan definisi Hawwalah sebagai berikut :Akad yang menimbulkan konsekwensi perpindahan hutang dari suatu dzimmah (hak-hak yang terlindungi/tagihan) kepada dzimmah yang lain.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab Qardl, bahwa Qardl merupakan akad Tabarru dengan demikian semua akad yang berhubungan dengan akad Qardl pada dasarnya merupakan akad tabarr juga, begitu juga dengan Hawwalah. Apakah akad Tabarru bisa dikembangkan menjadi akad Mu’awadlah / pertkaran ataupun komersial? Hal ini perlu dikaji lebih dalam. Meskipun demikian, ada sebagian kecil ulama yang mengelompokkan Hawalah ke dalam bab jual beli karena adanya unsur pertukaran tetapi pendapat ini lemah

Contoh akad Hawalah;
Ahmad telah memberikan piutang kepada Syakir, tetapi Syakir juga memberikan piutang kepada Mahmud. Perincian kasusnya adalah;
Ahmad merupakan pihak yang surplus (memberikan piutang) : Al Muhaal
Syakir merupakan pihak yang balance (punya piutang dan berhutang) : Al Muhiil
Mahmud adalah pihak yang minus, dia berhtang saja : Al Muhaal ’alaih
Untuk menyederhanakan jalr htang pitang serta pembayaran, maka Mahmud diminta membayar langsung ke Ahmad sehingga Syakir bebas dari rusan hutang dan piutang. Inilah contoh kasus Hawalah.

2. Hukum dan Dalil
Para Fuqaha telah sepakat (Ijma’) bahwa Hawalah diperbolehkan dalam Islam bahkan menurut sebagian ulama madzhab Hambali Ibnu Jarir dan madzhab Dzahiriyah hukumnya adalah wajib ( Fiqhussunah : Sayyid Sabiq ), karena adanya hadits shahih dari Abu Hurairah berkata ; Rasulullah saw bersabda : ” Menunda tanpa udzur bagi orang yang kaya (mampu) adalah dzalim, dan jika salah seorang diantara kamu dipindahkan (tagihannya) kepada orang yang mampu hendaklah ia menerimanya.” ( HR. Bukhori ) Akan tetapi sebagian besar ulama mengomentari bahwa perintah yang ada dalam hadits ini adalah menunjukkan sunnah, seperti halnya perintah mencatat transaksi hutang piutang yang tersebut dalam surat Albaqarah : 282

3. Hukum Hawalah dan peristilahannya :
a. Pihak yang berakad dalam hal ini melibatkan 3 orang yaitu;
• Al Muhiil : orang yang berhutang dan juga berpiutang (balance, pelaku utama)
• Al Muhaal atau Muhtaal, orang yang berpiutang (surplus)
• Al Muhaal ’Alaih (kreditor) orang ini akan dipindahkan dalam membayar hutang
b. Sighat : terdiai dari Ijab dan Qabul
c. Obyek akad terdiri dari dua hal :
• Al Muhaal bih : Hutang Al Muhiil kepada AlMuhaal
• Hutang Al Muhaal ’alaih kepada Al Muhiil.

4. Syarat sah Hawalah

1. Ridla antara Al Muhiil dan Al Muhaal, adapun keridlaan Al Muhaal ‘alaih maka hal ini tidak disyaratkan menurut sebagian ulama karena adanya hadits di atas
2. Dua hak / hutang itu harus sama nilainya
3. Kejelasan atau kestabilan hutang, artinya hutang yang menjadi objek akad dalam Hawalah tidak merupakan yang masih dipeselisihkan/sengketa. Jika hutangnya mash sengketa dan belum jelas kedudukannya makaHAwalah tdak sah
4. Hak yang di Hawalah kan (hak dbayar/putang) juga merupakan sesuatu yang jelas
5. Tanggung Jawab AlMuhiil
Jika akad Hawalah telah dlaksanakan secara sah,maka tanggung jawab Al Muhiil telah bebas dari hutang, sehingga apabila Al Muhaal ’alaih bangkrut misalnya, ia tidak lag berkewajiban membayar hutang (karena sebenarnya a juga punya putang / balance), ini adalah pendapat kebanyakan ulama.
Mengenai hal ini Imam Syafii dalam Al Umm mengatakan :
”Pendapat kami adalah pendapat yang dikatakan oleh Malik bin Anas yang berkata bahwa, ” Apabila seorang (Al Muhil) melakukan Hawalah kepada orang lain tentang suatu hak (tagihan) kemudianAl Muhaal ’alaih bangkrut atau wafat, maka Al Muhal tidak boleh kembali untuk menagih kepadaAl Muhiil selamanya.” Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar